Kemacetan
sebagai tanda suatu kota metropolitan memang sudah biasa terjadi. Di tambah
pada jam-jam krusial seperti ini. Makan siang. Perut orang-orang yang bekerja
di gedung-gedung tinggi pencakar langit itu pasti minta segera diisi. Dan
disinilah sang pemuda itu berada, di tengah-tengah keramaian lalu lalang
kendaraan. Untung saja mobilnya tidak semacam mobil Carry yang jika terkena cahaya matahari Jakarta penghuni di
dalamnya bissa matang seketika. Dia bersyukur dengan adanya mobil hasil kerja
kerasnya selama ini, tapi ia juga membenci mobil ini karena telah membuat
kekasih hatinya sekarang tidak seperti dulu lagi.
Kejadian itu sudah 4 bulan yang lalu,
kondisi gadis mungilnya pun telah membaik dan sudah diperbolehkan pulang
kerumahnya. Namun tetap saja, dengan kondisinya yang seperti itu, ia belum bisa
memaafkan dirinya sendiri. Pemuda itu melirik jam di tangannya, pukul 13.23.
Jam makan siang kantor seharusnya sudah lewat. Ia menarik nafas panjang, hari
ini jadwal gadis mungilnya cek up ke
rumah sakit dan ia harus mengantarkannya. Bukan permintaan gadis itu pastinya,
tapi bukankah ia harus ikut bertanggung jawab dengan apa yang sedang dialami
gadis itu ?
Ah.. pemuda itu sudah tidak sabar lagi
terjebak di lingkaran setan ini. Dengan sigap ia membanting stir melewati
jalan-jalan tikus andalannya jika terjebak macet seperti ini. 30 menit kemudian
ia sampai di rumah bercat biru muda lengkap dengan taman kecil yang dipenuhi
bunga melati di depannya. Gadisku sangat suka melati. ‘Apa dia masih munyakainya
sekarang ?‘ terka nya dalam hati.
“Hai
kamu sudah datang”
“Iya,
maaf aku terlambat, biasa jalanan Jakarta tidak terlalu bersahabat pada jam-jam
seperti ini”
Tak ada jawaban, hanya seulas senyum
manis menghiasi wajah gadis itu. Dengan segera ia mengambil tas yang telah ia
siapkan di sofa ruang tamu dan memasuki mobil.
“Bagaimana
keadaanmu hari ini ?”
“Masih
seperti kemarin”
“Apa
kamu sudah merasakan perubahan ?”
“Hmm..
aku tidak tahu, tapi aku mulai mengingat beberapa hal kecil di rumah. Seperti
nama kucing ku si ‘embul’ , barang-barang koleksi ku dan bunga-bunga favorite
ku”
“Syukurlah
kalau begitu, kamu tidak perlu mencoba mengingat dengan keras. Nanti juga akan ada
waktunya semua akan kembali normal”.
Mata bulat gadis itu tetap terpaku
melihat ke luar jendela. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Mulut kecilnya terlihat
menggumamkan sesuatu yang tidak terdengar jelas. Mungkin dia sedang mencoba
mengingat tempat-tempat yang sedang kami lewati. Atau mungkin dia sedang
berdoa. Entahlah, yang pasti aku selalu suka saat melihatnya diam seperti itu.
“Hujan
sepertinya akan turun”
Pemuda
itu langsung melihat ke langit di sebelah kanan nya.
“Iya,
seperti akan turun hujan. Apa kamu membawa jaket ?”
“Bawa”
“Bagus.
Aku tidak mau kamu kedinginan”.
Lalu gadis itu kembali dalam
ritualnya. Setengah jam berjibaku dengan aspal, akhirnya mereka sampai di rumah
sakit. Hujan sudah mengguyur cukup deras waktu itu. Dengan sigap sang pemuda
membuka payung untuk sang gadis dan mengantarnya masuk ke dalam ruang periksa.
Lalu ia duduk menunggu.
0 komentar:
Posting Komentar