Sabtu, 03 Januari 2015

KLISE

Baca via PDF download disini

Siang ini cuaca tak seperti biasanya, matahari sepertinya enggan menjalankan tugasnya dengan baik. Awan hitam mulai menutupi langit, hujan pun mulai membasahi jalanan. Dari dalam toko kopi aku melihat seorang anak kecil dengan riangnya berlari-lari mengejar anak kecil lainnya. Mereka terlihat gembira sekali. Padahal hujan sedang turun, tapi mereka seolah tidak peduli. Mereka hanya  berlari, berteriak, dan tertawa gembira. Bagi mereka, semudah itu mendapatkan kebahagian.

“Huh.” Aku menghela napas. Ini sudah pukul tiga, tetapi orang itu tidak juga muncul. Sudah 1,5 jam aku menunggu sendiri di toko ini. Bahkan pengunjung yang duduk di depan mejaku sudah berganti tiga kali, dan orang itu belum juga datang.

“Aku sudah 1,5 jam menunggu di sini. Kau akan datang atau tidak?” tulisku dalam pesan singkat.

“Kalau kau tidak datang juga, aku anggap masalah kita selesai. Kau tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi padaku.” tulisku lagi. Kutaruh telepon genggamku dan kembali memandang keluar. Langit semakin menggelap, seakan menggambarkan suasana hatiku. Kupejamkan mata, haruskah semua ini berakhir seperti ini? mengapa harus dengan cara ini? Aku sudah berpikir masak-masak akan keputusanku kali ini. Sekarang, aku tinggal menunggu orang itu datang dan mengatakannya.

            Setengah jam kemudian orang itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Dengan kesal aku pun menarik tasku dan berjalan keluar toko. Hujan di luar masih turun, walau sekarang hanya rintiknya saja yang tersisa. Aku berjalan menuju mobilku, mobil keluaran Jepang dengan warna favoritnya, biru. Di dalam mobil aku kembali membuka telepon genggamku, belum juga ada balasan. Aku sudah mengirimkan pesan lima kali dan belum satu pun yang dibalasnya.

“Maunya apa sih orang ini? dia yang membuat janji, dia sendiri yang tidak datang.” Omelku dengan kesal. Langsung saja kunyalakan mesin mobilku dan meluncur pulang.


***
            Sudah dua bulan kejadian itu berlalu, dan kini aku kembali kedalam rutinitasku. Aku masih sering keluar kota untuk mencari bahan untuk liputanku. Pekerjaanku sebagai jurnalis memang mengharuskanku untuk selalu siap sedia ketika di tugaskan keluar kota. Suatu hal yang tidak bisa ia terima. Dahulu, ketika aku masih bersamanya, ia selalu saja mempermasalahkan pekerjaanku ini.

“Untuk apa kau pergi ke sana? Bukankah banyak partner kerjamu yang laki-laki? Mengapa kamu yang harus pergi?”

“Karena aku adalah jurnalis senior di majalah ini. Wajar saja aku yang diminta untuk meliput ke sana.”

“Tapi apakah kau harus pergi dengan Gilang? Mengapa tidak dengan Tiya asistenmu itu.”

            Masalah itu lagi. Aku sudah lelah dengan masalah yang selalu diungkit-ungkitnya. Sudah berapa kali aku jelaskan tentang hubunganku dengan Gilang, salah satu junior di kantor majalahku.

“Aku juga pergi dengan Tiya, kau tenang saja. Aku hanya pergi 3 hari, kau tidak perlu khawatir.” Jawabku tenang sebagai balasan. Aku tau sifatnya yang keras kepala itu tidak akan mudah mengalah jika sudah membahas masalah ini.

“Aku percaya padamu, tapi aku tidak percaya padanya. Kau harus mengabariku selama di sana. Oke ?”

Huh, aku mulai lelah dengan perintah-perintahnya. Padahal sebelum ia mengenalku, ia sudah mengetahui akan profesiku sebagai jurnalis. Lalu mengapa sekarang ia melarangku untuk pekerjaan yang sudah membesarkan namaku ini?

            Kugerakan tanganku seakan-akan menghapus ingatan yang ada di dalam pikiranku. Itu sudah berlalu, sekarang aku harus bisa kembali seperti dulu. Kunyalakan komputer dihadapanku. Sebuah email masuk. Aku melihat siapa pengirimnya, seketika jantungku berdegup kencang.

            Era, maafkan aku tidak datang waktu itu. Aku tidak bisa meninggalkan isteriku yang sedang sakit. Kau tahu bukan, setelah isteriku mengetahui hubungan kita ia jadi suka melakukan hal-hal aneh. Maaf karena aku baru memberitahumu sekarang, dan maafkan juga karena aku tidak memberikanmu pesan apapun. Aku sekarang berada di Semarang, untuk waktu yang entah sampai kapan.
            Aku tahu kamu marah padaku, aku juga tau kau kecewa padaku. Tapi sebenarnya aku tidak memiliki niatan untuk memubuatmu merasakan itu. Apa kau masih marah padaku hingga sekarang? Semoga perlahan-lahan kau bisa menerima maafku. Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, semoga kau menemukan kebahagian yang lebih besar daripada yang dulu pernah aku berikan padamu.
- Erik

“Sialan!” umpatku kesal. Setelah menunggu sekian lama, hanya permintaan maaf yang dia berikan? dan apa itu? dia menyebut-nyebut soal isterinya. Hei, kau pikir bagaimana perasaanku ketika aku tahu ternyata kau berbohong atas statusmu? Sungguh perkataan yang klise!

            Semua ini harus segera aku selesaikan, aku tak ingin ada hubungan apa-apa lagi dengan pria itu.

Untuk Erik
            Dua bulan kau menghilang dan hanya itu yang ingin kau katakan? Kukira kau sudah mempersiapkan kata-kata yang lebih baik daripada itu.
          Kau tahu Rik, setiap kali aku ingin berbicara padamu, aku merasa bahwa ada kata yang hilang. Bukan tek terucapkan tapi hilang. Dan aku tak mempunyai hak atau kewajiban untuk mencarinya. Karena kini aku bukan siapa-siapa lagi untukmu. Kumohon kau jangan kembali kehadapanku, aku sudah mulai menerima situasiku sekarang. Terimakasih atas doamu, semoga kau juga bahagia dengan keluargamu.
-Rera

           Kirim.

“Setelah ini semua akan baik-baik saja. Ya, aku yakin aku bisa melupakannya.” ujarku tersenyum. Senyum untuk pertama kalinya, setelah dua bulan terberat yang pernah aku lalui sepanjang hidupku.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates