Rabu, 26 November 2014

Rumah Nomor 66


Baca via PDF download disini

Jendela itu selalu terbuka sebagian. Tirai putih bersibak tertiup angin, tirai yang selalu menutup bagian yang tak terlihat di balik jendela itu. Jendela dengan kayu kusen jati model kuno ditambah teralis besi berwarna hitam hampir serupa di semua bagian rumah. Rumah gaya jawa yang terdesak oleh rumah gaya modern disekitarnya. Mobil putih keluaran pabrik Jerman setiap pukul 6 meninggalkan garasi rumah, meninggalkan jendela yang terbuka sebagian. Tak pernahkah jendela itu di tutup?

Sudah 5 bulan aku tinggal di seberang rumah bergaya jawa itu. Dan pertanyaanku selama 5 bulan ini juga, apa yang ada di balik jendela itu?  Rumah nomor 66. Tak pernah aku melihat sosok sang pemilik rumah. Saat mobil putih itu meninggalkan rumah, aku baru bangun dari mimpiku dan kembali entah jam berapa, aku tak pernah melihatnya kembali. Mengapa aku tertarik sekali dengan rumah itu ? Entahlah. Mungkin rumah itu mengingatkan aku dengan rumah nenekku yang berada di Wonosobo. Tempat kelahiranku dan masa kecilku. Setiap kali aku berada di rumah nenekku aku selalu merasa nyaman, tentram. Tapi rumah yang di seberang itu –
***
“Bruum Bruum” seketika aku bangun dan menyibakan tirai jendelaku. Dengan kepala yang masih pusing karena melompat begitu saja tanpa ancang-ancang, aku melihat sosok dibalik mobil putih itu. Seorang pria, dengan kemeja biru bergaris dan kacamata hitam. Rambutnya rapi dengan sedikit gaya spike. Hanya itu yang bisa aku perhatikan. Setalah masuk mobil ia diam terlebih dahulu melihat telepon genggamnya kemudian baru menjalankan mobilnya. Meluncur begitu saja, tetap dengan meninggalkan jendela dengan kondisi setengah terbuka.

“Kukira yang tinggal di sana seorang bapak-bapak yang sudah tua makanya selalu lupa menutup jendela. Ternyata masih muda begitu. Teledor sekali dia.” gumamku dalam kamar.

Aku kembali ke kasurku, duduk memerhatikan rumah di seberang. Kamarku berada di lantai dua, tak begitu besar hanya ada satu kasur, satu lemari, dan satu meja. Tepat di samping tempat tidurku ada dua buah jendela yang langsung menatap rumah nomor 66 itu. Itulah mengapa aku bisa memerhatikan rumah itu setiap hari. Aku melihat jam dinding dekat jendela, pukul 07.00. Dalam 2 jam kedepan aku harus sudah berada di kampus. Kuseret kaki menuju kamar mandi dan mulai bersiap.
***
Pukul 2 pagi, aku belum terlelap juga. Entah mengapa banyak sekali pikiran yang melintas dalam benakku sehingga aku tidak bisa tidur. Kututup mata sekali lagi, mencoba tidur untuk kesekian kalinya. Tapi suara di luar jendela langsung membuatku terjaga.

“Pemilik rumah 66 itu pulang.”

Aku berjungkit mendekati jendela dan menyingkap tiraiku sedikit, mengintip dengan perasaan waswas. Pria berbaju biru itu turun dari mobil putihnya, rambutnya masih tertata rapi sama seperti tadi pagi. Tak ada yang berbeda, hanya saja sekarang ia tidak memakai kacamata hitamnya. Dari balik jendela aku bisa melihat badannya tinggi dan tegap bak model. Ia mengambil tas di kursi belakang mobilnya dan melihat sekeliling. Dia melihatku! Seketika aku menutup tiraiku dan kembali ke atas kasur, diam tanpa suara seakan-akan suaraku dapat terdengar hingga ke seberang.

“Kurasa sudah aman sekarang.” Aku kembali mendekati jendela dan menyingkap tiraiku lebih lebar. Di luar sepi. Tidak ada seorang pun di luar sana. Rumah nomor 66 itu pun gelap. Tidak ada tanda sang empunya rumah menyalakan lampu untuk sekedar membersihkan diri.

“Dia sungguh aneh. Mencurigakan sekali.” batinku. Aku kembali ke tempat tidur, menarik selimut dan memejamkan mata.

Aku terbangun karena suara seseorang di luar rumah, suara orang berteriak. Ah bukan, melainkan suara orang yang memekik kesakitan. Suara siapa itu? Jam beker di sisi tempat tidurku menunjukan waktu setengah empat. Aku baru tertidur satu setengah jam  yang lalu dan sekarang dibangunkan oleh suara bising di luar. Sial sekali. Aku melihat keluar jendela, tidak ada siapapun. Aku tidak salah dengar, dengan jelas aku mendengar seseorang yang setengah berteriak itu. Karena penasaran aku sambar jaket merah kesayanganku, mengikat rambutku sebagian dan kemudian turun ke lantai dasar. Di rumah ini aku tinggal bertiga bersama saudaraku. Tapi sepertinya mereka tidak terganggu dengan suara diluar.

Aku mengambil kunci di dalam rak kecil yang diatasnya dihuni foto-foto saat aku dan saudaraku kecil. Suara di luar terdengar lagi, kali ini semakin jelas. Malam ini begitu sunyi, suara jangkrik pun tak terdengar. Jadi aku yakin aku tidak salah. Aku mengmabil senter di laci paling bawah dan mulai membuka pintu ruang tamu. Perlahan aku menengok ke balik pintu, tidak ada siapa-siapa.

“Masa aku salah dengar? aku yakin ada suara seseorang di luar.”

“LEPASKAN AKU, CEPAT PERGI !”

Ah, suara itu dari rumah bernomor 66 itu. Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku mendatangi rumah itu, mengetuk tanpa rasa bersalah atau aku membangunkan saudaraku terlebih dahulu untuk memanggil bala bantuan?

“Ah, sudahlah aku pergi sendiri saja. Semoga aku bisa keluar dengan selamat dari rumah itu.”

Rumah itu ternyata cukup rapi, tamannya terawat dengan baik. Terlihat modern dibandingkan dengan kondisi rumah itu sendiri. Jalan setapak menuju pintu depan disusun dari batu-batu putih dan hitam yang disusun sedemikian rupa membentuk pola tertentu. Aku memerhatikan pintu dihadapanku, bersiap-siap dengan apa yang akan aku hadapi dibaliknya. Kuketuk pintu itu dua kali. Tidak ada jawaban. Kuketuk sekali lagi, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka.

“Kalau kali ini tidak dibuka juga, aku akan kembali saja ke rumah.”

Baru saja tanganku menyentuh pintu, pintu itu seketika terbuka. Seorang pria, dengan kemeja birunya yang sekarang sudah berantakan. Tak ada bekas rambutnya yang tersisir rapi, matanya membelalak, mukanya sungguh pucat.

“Mau apa kau kesini ?” ujarnya dengan nada kesal.
“Eh, aku.. aku hanya ingin mengetahui sumber suara seseorang yang –“
“Suara itu bukan dari sini. Cepat pergi!”
“Kau yakin? aku mendengar dengan jelas suara itu berasal dari dalam rumah ini.”
“Sudah pergi cepat” tangan pria itu mendorongku lumayan kencang.
“Hei ! sopan sedikit dong ! apa mau kau aku laporkan ke satpam karena – “ kata-kataku langsung terhenti, mataku teralihkan dengan sosok di balik pria itu.Wajahnya tak terlihat jelas, rambutnya gondrong sebahu berwarna putih. matanya tajam walau agak sayu. Ia memakai baju yang longgar dan jelana pendek yang sudah belel. Tangannya terayun di udara, untuk sekian detik aku menyadari ia memegang sesuatu.

“Awas !!” pria berbaju biru itu mendorongku menjauh. Aku jatuh tersungkur. Tangan pria itu menghalangi laki-laki berwajah seram itu untuk mengayunkan benda –yang ternyata pisau – ke arahku. Aku bangkit dan berusaha untuk lari meminta bantuan, tetapi laki-laki seram itu bisa mendorong pria berbaju biru itu menjauh dan menangkapku. Cengkraman tangannya sangat kuat, aku bisa melihat matanya yang kosong. Mata yang tanpa emosi sekalipun tapi seakan-seakan ada kemarahan besar dibalik mata sayu itu, Tangannya berayun dan....
***
Jendela itu tetap terbuka setengah, agar seseorang yang berada di dalamnya bisa mendapat udara segar kata orang-orang sekitar. “Tapi, kenapa orang itu tidak keluar saja dan menikmati udara segar itu secara bebas ?” tanyaku. Baru satu bulan ini aku tinggal di kamar lantai dua yang ada di seberang rumah nomor 66 itu. Aku penasaran dengan apa yang ada di balik jendela itu...


“Mungkin besok aku akan kesana dan mencari tau siapa yang tinggal di dalam rumah itu.”



--2014--

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates