Baca via PDF download disini
Jendela itu selalu terbuka sebagian. Tirai putih bersibak tertiup angin, tirai yang selalu menutup bagian yang tak terlihat di balik jendela itu. Jendela dengan kayu kusen jati model kuno ditambah teralis besi berwarna hitam hampir serupa di semua bagian rumah. Rumah gaya jawa yang terdesak oleh rumah gaya modern disekitarnya. Mobil putih keluaran pabrik Jerman setiap pukul 6 meninggalkan garasi rumah, meninggalkan jendela yang terbuka sebagian. Tak pernahkah jendela itu di tutup?
Jendela itu selalu terbuka sebagian. Tirai putih bersibak tertiup angin, tirai yang selalu menutup bagian yang tak terlihat di balik jendela itu. Jendela dengan kayu kusen jati model kuno ditambah teralis besi berwarna hitam hampir serupa di semua bagian rumah. Rumah gaya jawa yang terdesak oleh rumah gaya modern disekitarnya. Mobil putih keluaran pabrik Jerman setiap pukul 6 meninggalkan garasi rumah, meninggalkan jendela yang terbuka sebagian. Tak pernahkah jendela itu di tutup?
Sudah
5 bulan aku tinggal di seberang rumah bergaya jawa itu. Dan pertanyaanku selama
5 bulan ini juga, apa yang ada di balik jendela itu? Rumah nomor 66. Tak pernah aku melihat sosok sang
pemilik rumah. Saat mobil putih itu meninggalkan rumah, aku baru bangun dari
mimpiku dan kembali entah jam berapa, aku tak pernah melihatnya kembali.
Mengapa aku tertarik sekali dengan rumah itu ? Entahlah. Mungkin rumah itu
mengingatkan aku dengan rumah nenekku yang berada di Wonosobo. Tempat
kelahiranku dan masa kecilku. Setiap kali aku berada di rumah nenekku aku
selalu merasa nyaman, tentram. Tapi rumah yang di seberang itu –
***
“Bruum
Bruum” seketika aku bangun dan menyibakan tirai jendelaku. Dengan kepala yang
masih pusing karena melompat begitu saja tanpa ancang-ancang, aku melihat sosok
dibalik mobil putih itu. Seorang pria, dengan kemeja biru bergaris dan kacamata
hitam. Rambutnya rapi dengan sedikit gaya spike.
Hanya itu yang bisa aku perhatikan. Setalah masuk mobil ia diam terlebih
dahulu melihat telepon genggamnya kemudian baru menjalankan mobilnya. Meluncur
begitu saja, tetap dengan meninggalkan jendela dengan kondisi setengah terbuka.
“Kukira
yang tinggal di sana seorang bapak-bapak yang sudah tua makanya selalu lupa
menutup jendela. Ternyata masih muda begitu. Teledor sekali dia.” gumamku dalam
kamar.
Aku
kembali ke kasurku, duduk memerhatikan rumah di seberang. Kamarku berada di
lantai dua, tak begitu besar hanya ada satu kasur, satu lemari, dan satu meja.
Tepat di samping tempat tidurku ada dua buah jendela yang langsung menatap
rumah nomor 66 itu. Itulah mengapa aku bisa memerhatikan rumah itu setiap hari.
Aku melihat jam dinding dekat jendela, pukul 07.00. Dalam 2 jam kedepan aku
harus sudah berada di kampus. Kuseret kaki menuju kamar mandi dan mulai
bersiap.
***
Pukul
2 pagi, aku belum terlelap juga. Entah mengapa banyak sekali pikiran yang
melintas dalam benakku sehingga aku tidak bisa tidur. Kututup mata sekali lagi,
mencoba tidur untuk kesekian kalinya. Tapi suara di luar jendela langsung
membuatku terjaga.
“Pemilik
rumah 66 itu pulang.”
Aku
berjungkit mendekati jendela dan menyingkap tiraiku sedikit, mengintip dengan
perasaan waswas. Pria berbaju biru itu turun dari mobil putihnya, rambutnya
masih tertata rapi sama seperti tadi pagi. Tak ada yang berbeda, hanya saja
sekarang ia tidak memakai kacamata hitamnya. Dari balik jendela aku bisa
melihat badannya tinggi dan tegap bak model. Ia mengambil tas di kursi belakang
mobilnya dan melihat sekeliling. Dia melihatku! Seketika aku menutup tiraiku
dan kembali ke atas kasur, diam tanpa suara seakan-akan suaraku dapat terdengar
hingga ke seberang.
“Kurasa
sudah aman sekarang.” Aku kembali mendekati jendela dan menyingkap tiraiku
lebih lebar. Di luar sepi. Tidak ada seorang pun di luar sana. Rumah nomor 66
itu pun gelap. Tidak ada tanda sang empunya rumah menyalakan lampu untuk sekedar
membersihkan diri.
“Dia
sungguh aneh. Mencurigakan sekali.” batinku. Aku kembali ke tempat tidur, menarik
selimut dan memejamkan mata.
Aku
terbangun karena suara seseorang di luar rumah, suara orang berteriak. Ah bukan,
melainkan suara orang yang memekik kesakitan. Suara siapa itu? Jam beker di
sisi tempat tidurku menunjukan waktu setengah empat. Aku baru tertidur satu
setengah jam yang lalu dan sekarang dibangunkan
oleh suara bising di luar. Sial sekali. Aku melihat keluar jendela, tidak ada
siapapun. Aku tidak salah dengar, dengan jelas aku mendengar seseorang yang
setengah berteriak itu. Karena penasaran aku sambar jaket merah kesayanganku,
mengikat rambutku sebagian dan kemudian turun ke lantai dasar. Di rumah ini aku
tinggal bertiga bersama saudaraku. Tapi sepertinya mereka tidak terganggu
dengan suara diluar.
Aku
mengambil kunci di dalam rak kecil yang diatasnya dihuni foto-foto saat aku dan
saudaraku kecil. Suara di luar terdengar lagi, kali ini semakin jelas. Malam
ini begitu sunyi, suara jangkrik pun tak terdengar. Jadi aku yakin aku tidak
salah. Aku mengmabil senter di laci paling bawah dan mulai membuka pintu ruang
tamu. Perlahan aku menengok ke balik pintu, tidak ada siapa-siapa.
“Masa
aku salah dengar? aku yakin ada suara seseorang di luar.”
“LEPASKAN
AKU, CEPAT PERGI !”
Ah,
suara itu dari rumah bernomor 66 itu. Aku terdiam, tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Haruskah aku mendatangi rumah itu, mengetuk tanpa rasa bersalah
atau aku membangunkan saudaraku terlebih dahulu untuk memanggil bala bantuan?
“Ah,
sudahlah aku pergi sendiri saja. Semoga aku bisa keluar dengan selamat dari
rumah itu.”
Rumah
itu ternyata cukup rapi, tamannya terawat dengan baik. Terlihat modern dibandingkan
dengan kondisi rumah itu sendiri. Jalan setapak menuju pintu depan disusun dari
batu-batu putih dan hitam yang disusun sedemikian rupa membentuk pola tertentu.
Aku memerhatikan pintu dihadapanku, bersiap-siap dengan apa yang akan aku
hadapi dibaliknya. Kuketuk pintu itu dua kali. Tidak ada jawaban. Kuketuk
sekali lagi, tidak ada tanda-tanda pintu akan dibuka.
“Kalau
kali ini tidak dibuka juga, aku akan kembali saja ke rumah.”
Baru
saja tanganku menyentuh pintu, pintu itu seketika terbuka. Seorang pria, dengan
kemeja birunya yang sekarang sudah berantakan. Tak ada bekas rambutnya yang
tersisir rapi, matanya membelalak, mukanya sungguh pucat.
“Mau
apa kau kesini ?” ujarnya dengan nada kesal.
“Eh,
aku.. aku hanya ingin mengetahui sumber suara seseorang yang –“
“Suara
itu bukan dari sini. Cepat pergi!”
“Kau
yakin? aku mendengar dengan jelas suara itu berasal dari dalam rumah ini.”
“Sudah
pergi cepat” tangan pria itu mendorongku lumayan kencang.
“Hei
! sopan sedikit dong ! apa mau kau aku laporkan ke satpam karena – “
kata-kataku langsung terhenti, mataku teralihkan dengan sosok di balik pria
itu.Wajahnya tak terlihat jelas, rambutnya gondrong sebahu berwarna putih.
matanya tajam walau agak sayu. Ia memakai baju yang longgar dan jelana pendek
yang sudah belel. Tangannya terayun di udara, untuk sekian detik aku menyadari
ia memegang sesuatu.
“Awas
!!” pria berbaju biru itu mendorongku menjauh. Aku jatuh tersungkur. Tangan
pria itu menghalangi laki-laki berwajah seram itu untuk mengayunkan benda –yang
ternyata pisau – ke arahku. Aku bangkit dan berusaha untuk lari meminta
bantuan, tetapi laki-laki seram itu bisa mendorong pria berbaju biru itu
menjauh dan menangkapku. Cengkraman tangannya sangat kuat, aku bisa melihat
matanya yang kosong. Mata yang tanpa emosi sekalipun tapi seakan-seakan ada
kemarahan besar dibalik mata sayu itu, Tangannya berayun dan....
***
Jendela
itu tetap terbuka setengah, agar seseorang yang berada di dalamnya bisa
mendapat udara segar kata orang-orang sekitar. “Tapi, kenapa orang itu tidak
keluar saja dan menikmati udara segar itu secara bebas ?” tanyaku. Baru satu
bulan ini aku tinggal di kamar lantai dua yang ada di seberang rumah nomor 66
itu. Aku penasaran dengan apa yang ada di balik jendela itu...
“Mungkin besok
aku akan kesana dan mencari tau siapa yang tinggal di dalam rumah itu.”
--2014--
0 komentar:
Posting Komentar