Aku ingat betul itu terjadi 3 tahun
yang lalu, di hari terakhir aku mengenakan seragam ‘putih-biru’ kebangaan anak
seusiaku. Masih sangat hafal, hari itu terakhir aku ke sekolah untuk mengambil
ijazah. Bertepatan dengan hari ulang tahun ku yang biasanya aku habiskan
sendiri di rumah karena selalu jatuh di waktu liburan sekolah. Seperti ritual
anak SMP setiap ada yang berulang tahun, pasti wajah ‘sang korban’ menjadi
merah merona. Bukan.. bukan karena malu atau gembira di kasih kejutan, tapi
karena tamparan yang jatuh di kedua pipi. Dan itu pula yang aku alami.
Masih dengan suasana suka cita,
datanglah seorang yang aku hafal betul wajahnya. Cowok berkulit sawo matang,
tinggi, tidak terlalu gemuk, rambut yg selalu rapi, dan tak lupa kaca mata yang
membantunya melihat. Dengan segera aku tahu aku harus pulang. Di perjalanan kam
tidak banyak bicara, bahkan dia belum mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku
secara langsung.
Kami
langsung duduk di ruang tamu sesampainya di rumahku. Dengan sedikit basa-basi,
dia menaruh sesuatu di atas meja. ‘maaf berantakan, bungkus sendiri soalnya
hehehe’. Aku pun mulai menyobek kertas pelapis itu dan mendapati sebuah bingkai
bambu dengan gambar di balik kacanya. Gambar 2 orang yang bersebelahan. Yang satu
memakai kemeja + cardigan, rok serta tas kecil selempang yang satu memakai
jaket, dan celana panjang. Lengkap dengan hiasan kalimat..
“cinta
murni lahir dari sanubari. Cinta suci datang dari Illahi, cinta sejati hanyalah
cinta kita berdua”
Sederhana. Ya se-sederhana
itu, tapi itu cukup membuatku tersenyum bila aku mengingatnya. Dan bingkai
bambu itu masih berdiri kokoh di meja belajarku hingga sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar